12 Oktober 2006

Nuzulul Qur’an [sebuah refleksi]

Antara Hidup dan Matinya Sebuah Wahyu
M. Luthfil Anshori (Santri Afkar dan Misykati Center)

Ramadhan adalah bulan suci yang bertabur berkah dan maghfirah. Setiap tahun ia selalu ada dan datang menyapa setiap manusia di alam raya. Melaluinya Allah Yang Maha Kuasa membukakan pintu maaf selebar-lebarnya kepada setiap hamba. Tergantung apakah mereka mau menyambutnya dengan penuh taqwa, atau justru acuh tak menghiraukanya. Itu semua terkembali kepada masing-masing jiwa yang masih bernyawa.

Ketika kita menyebut nama “Ramadhan”, tashawwur yang muncul di benak adalah aura agung dan berkah yang ia pancarkan lewat semburat cinta kasih Tuhan berupa Al-Qur’an. Al-Qur’an, –sebagaimana yang kita imani- untuk kali pertamanya diturunkan pada bulan Ramadhan dari lauhul mahfudz ke langit dunia [baca Q.S Al-Baqarah:185, Q.S Al-Qadr:1-5, Q.S Ad-Dukhan: 3]. Ia diwahyukan kepada nabi pamungkas, Muhammad SAW, sebagai tuntunan suci dari Tuhan kepada seluruh manusia sekaligus penyempurna atas kitab-kitab sebelumnya. Sekali lagi, Ramadhan telah menjadi saksi bisu dimana sebongkah surat cinta dari Tuhan telah diwahyukan kepada manusia pecinta yang tahu akan arti cinta sesungguhnya kepada Dzat Yang Maha Pecinta, Muhammad.

Dimulai dari bulan Ramadhan yang penuh hikmah, perjalanan wahyu terus berlangsung, turun-temurun secara bertahap seiring perjalanan waktu. Allah, sebagai pengendali total seluruh isi bumi tentu telah sangat paham akan kebutuhan dan pelajaran apa yang dibutuhkan hamba-Nya, sehingga hal tersebutlah yang menjadi sebab diturunnya Al-Qur’an sesuai kejadian yang melatarbelakanginya. Asbab an-Nuzul, begitulah para Ulama’ Tafsir menamakannya.

Safari akbar turunnya Al-Qur’an, secara bertahap akhirnya telah lengkap dan sempurna setelah menginjak usia temurunnya yang ke-23, dan saat itu nabi Muhammad telah berumur 63 tahun. Wafatnya nabi Muhammad adalah juga merupakan akhir dari sejarah turunnya Al-Qur’an. Maka setelah itu tiada lagi satupun ayat ataupun surat yang boleh didakwa sebagai bagian dari Al-Qur’an.

Singkat cerita, pada masa Utsman Al-Qur’an mulai dibukukan secara rapi dan disatukan dalam bahasa Arab-Qurays sebagai Mushaf rujukan di seluruh dunia. Mushaf itulah yang akhirnya sampai pada tangan kita saat ini. Pada dasarnya, visi sekaligus misi dari nuzulul Qur’an adalah untuk memberikan hudan (petunjuk) dan sebagai bayyinat (penjelas) atas petunjuk dan pembeda itu sendiri [baca Q.S Al-Baqarah: 185].

Namun saat ini, marilah sama-sama kita menengok kembali substansi dan esensi dari proses diturunkannya kepada kita yang telah melewati perantaraan Jibril, Nabi Muhammad, dan seterusnya hingga sampai kepada kita. Maka apakah yang akan kita lakukan dengan Al-Qur’an? Apakah ia telah benar-benar mewujudkan fungsinya sebagai petunjuk dan penjelas? Ataukah ia membutuhkan kita untuk kembali menggali lebih banyak lagi fungsi dan kandungannya agar lebih optimal dan aplikatif dalam era sekarang? Atau bahkan kita biarkan saja ia hanya sebagai barang tumpukan yang tak pernah terpegang, atau mungkin terpegang tapi hanya sekedar buat bacaan ringan dikala kita sedang merasa kesepian? (Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dalam otak dan fikiran. Dan ia akan mengambil lebih banyak space lagi jika diteruskan).

Al-Qur’an adalah mutiara kehidupan. Ia merupakan petunjuk untuk segala sesuatu. Ia adalah sumber munculnya ilmu pengetahuan yang begitu banyak dan terdiri dari berbagai disiplin. Ia adalah sumber dari segala sumber. Namun sudahkah ia menjadi petunjuk bagi kita, bagi kehidupan kita, masyarakat kita, bangsa kita, negara kita?

Al-Qur’an akan terjauhkan dari fungsi yang sebenarnya jika manusia tidak mau menggali dan memaknainya lebih jauh. Al-Qur’an hanya akan menjadi wahyu mati yang tidak mempunyai ruh menghidupkan jika ia hanya sekedar menjadi onggokan yang terpampang di setiap sudut meja, kamar dan ruangan. Tentu ia harus disentuh, bukan hanya dengan tangan, tetapi harus pula disentuh dengan mata, hati dan otak secara serentak. Maka dengan itu fungsinya baru bisa menjadi optimal.

Saat ini, Al-Qur’an seharusnya sudah menjadi “bacaan berat” bagi setiap muslim yang mengimaninya. Lebih berat dari bacaan-bacaan lain yang sesungguhnya semua pun berasal darinya. Telah banyak hasil karya yang saat ini dapat dengan mudah kita temukan dalam lingkup kajian tafsir, ilmu tafsir dan lain sebagainya. Itu adalah hasil karya terbaik para Ulama’ salaf kita yang patut kita apresiasi dan tela’ah ulang.

Yang terpenting bagi kita saat ini sesungguhnya adalah bagaimana kita mengembalikan atau setidaknya memperbarui orientasi dan cara pandang kita terhadap Al-Qur’an. Bagaimana cara kita menghidupkan teks yang sesungguhnya hanya akan menjadi benda mati tanpa adanya interpretasi? Apakah cukup dengan membacanya setiap hari kita telah menghidupkannya? Atau cukup kita hafal sampai nglotok tanpa kita tahu apa sebenarnya mutiara dan pelajaran yang terkandung di dalamnya?

Jawabnya tentu tidak cukup dengan itu. Sebagai pemuda muslim kita harus mempunyai orientasi progresif yang mampu mengiringi setiap laju zaman yang semakin mencekam dan mengerikan. Kita harus mempunyai bekal untuk mengarungi samudra kehidupan yang semakin menua dan penuh persaingan. Dengan apa? Membaca! Itulah pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa nuzulul Qur’an.

Iqra’ secara luas tidak hanya diartikan sebagai membaca dengan mata. Ia secara lebih universal dapat kita artikan dengan membaca, menela’ah, mengamati, meneliti hingga memahami apa yang terkandung dalam “sesuatu” yang kita baca. Kenapa ayat pertama diturunkan dengan kata “Iqra’” dan bukan “Talaa”? karena jika “talaa” ia hanya bermakna “membaca hal-hal yang suci saja”. Di samping itu, diantara kelebihan kata Iqra’ -dengan berbagai perubahan katanya- adalah bahwa dengan Qara’a (membaca) dapat menjadikan hal-hal yang Araqa (susah/gelisah) menjadi Aqarra (tenang/mantap).

Maka melalui momen yang tepat di bulan Ramadhan ini, hendaknya kita sama-sama bisa merenungkan kembali hakikat nuzulul Qur’an, sekaligus mencari cara yang tepat untuk dapat mengaplikasikannya. Bulan Ramadhan adalah bulan yang baik untuk memulai, memulai membaca, memulai menata niat kembali, dan mulai segalanya. Al-Qur’an adalah sumber kehidupan, maka bagaimana jadinya jika sumber kehidupan itu sendiri “mati” secara sakral??? Wallahu a’lam!!!

1 komentar: