ELEGI DI TENGAH GUYUR HUJAN
O, darah dan air mata siapa yang menggenang di halaman rumah
saat jarum-jarum hujan menderapkan suara-suara ganjil
di teduh hatimu, saudaraku?
sebuah pagi di depan wajah televisi yang selalu saja menyuguhkan mimpi-mimpi tak terbeli. ditemani secangkir kopi, sekerat roti, sebatang rokok dan hujan tanpa henti, kulihat anak-anak tak beralas kaki melempar batu ke tank-tank penghancur. lalu setelahnya mereka dipaksa menelan api dari moncong senapannya: oleh sebab tanah tua tempat hunian moyangnya terbakar duka, jadi sengketa; mengingatkanku pada serambi mekah yang mendesaukan ratap tangis dan duka yang sama.
dan puisi pun tak lagi cukup menampung keluh kesah, erang dan jeritan sakaratul maut mereka dalam indahnya kata-kata.
aku hanya bisa mencatatkannya dalam pejam mata dan rintih asing batin yang menggila. sungguh tak bisa kuterjemahkan dengan uluran tangan. sementara doa-doaku pun hambar mengiba; tertatih-tatih menggapai langitNya. bahkan tak akan pernah sampai. keburu angin nafsuku mendahului dan menggerusnya jadi serpihan mimpi-mimpi di kantong celana - sebagaimana suara hujan itu yang tak henti-henti menyayat gendang telinga.
kini, setiap kali musim memahatkan dingin bulan basahnya mereka pun berduyun-duyun menjelma bola salju, meringsek ingatan. wajah mereka berlulur darah. Tubuh cerai berai dan gosong diantara beribu busungan dada dan aroma tawa yang jumawa.
sementara aku terpaku pada bingkai jendela melalui buramnya kaca ketika menatap jarum-jarum kristal hujan itu menjekma darah dan air mata tak ada habis-habisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar